8 Desember 2020

1

Dosen Terbaik Sedunia

Tulisan ini akan panjang. Tapi tidak akan mampu lebih panjang dari kebaikan-kebaikan Pak Pri kepada saya.

Momen buka puasa bersama Pak Pri & Anak-anak tahun 2018

Satu pagi di tahun 2014, seorang dosen dengan mengenakan kemeja kotak-kotak, celana panjang jeans, dan sepatu kets ala anak muda masuk dan mengisi kelas 'Bisnis dan Politik'. Dengan singkat dan tanpa banyak menulis di papan tulis, beliau mengakhiri kelas dengan kesan menyenangkan. Sejak hari itu, beliau sukses mendapat tempat di hati gue sebagai salah satu dosen favorit. Namanya Priyatno Harsasto.

Hari demi hari terlewati, tibalah gue di semester 5, dimana setiap mahasiswa mendapatkan dosen pembimbing skripsi dengan cara acak. Gue pasrah dan hanya berdoa agar dosen pembimbing gue nanti bisa mempermudah proses kelulusan. Tanpa disangka, nama gue ada di list daftar mahasiswa bimbingan Pak Pri, sapaan akrab Pak Priyatno Harsasto. Setelah itu, hari-hari perkuliahan gue menjadi lebih menyenangkan. Gue dan Pak Pri menjadi akrab karena sering berkomunikasi. Banyak cerita mengesankan terjadi, hingga beberapa mahasiswa lain sering mengatakan; "Farih mahasiswa kesayangan Pak Pri".

Oleh-oleh dari Thailand

Normalnya, mahasiswa semester akhir akan fokus ke skripsi dan berusaha keras untuk segera lulus. Namun tidak untuk gue yang memang kurang normal ini. Di tahun keempat kuliah, gue malah melancong ke Thailand sendirian selama hampir 2 minggu. Gila kan?

Gue merahasiakan perjalanan ke Thailand ini kepada semua dosen termasuk Pak Pri. Bahkan teman-teman satu jurusan gue pun sudah gue wanti-wanti agar tutup mulut soal ini di depan para dosen.

Pulang ke Indonesia, satu hal yang paling gue takuti waktu itu, yaitu: menghadap Pak Pri untuk bimbingan skripsi setelah berminggu-minggu mangkir. Karena takut itulah, gue malah menunda-nunda untuk bertemu beliau.

"Rih, kok lo gak konsul skripsi?" tanya salah satu teman gue saat kita sedang beristirahat di kantin. "Lo dicariin Pak Pri tuh kemaren. Udah 2 bulan katanya lo gak bimbingan."

"Iya nih, gue belum selesai revisinya. Lagian takut juga udah lama gak konsul, takut diamuk." jawab gue waku itu.

"Lo lebih takut diamuk Pak Pri atau gak wisuda tahun ini?"

"..." Gue tersadar. "Oke, besok gue nemuin Pak Pri."

Besoknya, dengan membawa revisian skripsi seadanya, gue memberanikan diri menemui Pak Pri di ruang jurusan. Baru sampai di depan pintu, gue berpikir untuk putar balik, pulang ke kosan. 

Gimana nanti kalau Pak Pri marah dan gak mau bimbing skripsi gue lagi? Gimana nanti kalau gue harus ganti dosen? Gimana nanti kalau dosen barunya minta gue ubah judul skripsi dan ngulang dari awal? Kelar deh lo Rih, nikah aja udah nggak usah wisuda!

Pikiran-pikiran negatif muncul akibat ketakutan gue saat itu. Akhirnya, setelah beberapa menit mematung di depan pintu ruang jurusan, gue menarik satu nafas panjang dan melangkahkan kaki masuk.

Dari kejauhan, ruangan Pak Pri yang berupa bilik kayu 9 meter persegi berderet dengan bilik dosen lain terlihat. Disana, duduk dengan tenang Pak Pri sambil membaca lembaran kertas di tangannya. Gue makin gugup. Langkah gue makin pelan mendekati meja beliau.

Gue berdiri diam di depan meja Pak Pri. Melihat ada sosok di depannya, Pak Pri meletakkan kertas yang ia baca dan mengalihkan pandangannya ke gue. Gue berusaha untuk senyum semanis mungkin menyambut tatapan Pak Pri, meskipun degup jantung udah nggak karuan.

Pak Pri tersenyum ke arah gue. "Eh kamu nduk, baru keliatan. Mana oleh-oleh dari Thailand-nya buat saya?". Setelah itu ia tertawa kecil. "Kok nggak bawa apa-apa ki piye?". (kok nggak bawa apa-apa itu bagaimana?)

Lah.

Lahhh.

Di luar dugaan, ternyata respon Pak Pri nggak sesuram yang gue pikir. Masih sehangat biasanya. Bahkan konsultasi skripsi hari itu berjalan lebih dari 3 jam dan banyak berisi tentang sharing pengalaman jalan-jalan gue ke Thailand. Pak Pri begitu antusias mendengarkan cerita-cerita gue. Beberapa kali kami berdua menertawakan kebodohan-kebodohan gue selama jalan-jalan.

Sampai sekarang, masih menjadi misteri, siapa yang membocorkan rahasia gue ke Thailand pas skripsian kepada Pak Pri.

Mahasiswa Wajah Muram

Satu angkatan kuliah biasanya akan lulus bersama atau setidaknya dalam waktu yang berdekatan. Dalam hal ini, dosen pembimbing skripsi benar-benar menjadi salah satu faktor penentu durasi kuliah mahasiswa. Gue beruntung punya dosen pembimbing sebaik Pak Pri. Tapi nggak semua mahasiswa seberuntung gue. Beberapa mahasiswa yang nggak beruntung itu, bahkan untuk konsultasi secara nyaman aja nggak bisa dengan dosen pembimbing mereka. Apalagi lulus cepet(?)

Siang itu, seperti biasa, tanpa janjian terlebih dahulu, gue berniat konsultasi skripsi dengan Pak Pri. Gue yakin Pak Pri pasti ada di ruangannya dan memiliki waktu untuk gue ganggu dengan pertanyaan-pertanyaan seputar perilaku politik masyarakat Indonesia, tema skripsi gue.

Setelah melewati dan menyapa beberapa teman satu jurusan yang duduk berjejer menunggu dosen pembimbing mereka di depan ruang jurusan, gue memasuki ruang kerja dosen itu.

Dengan menenteng lembar-lembar revisi skripsi, gue melenggang masuk berjalan menuju meja Pak Pri. Ketika melewati bilik-bilik dosen lain, gue melihat beberapa teman kelas sedang duduk di hadapan dosen pembimbing mereka masing-masing. Ada yang lagi ngobrol santai, ada juga yang terlihat muram-masam diceramahin dosen di hadapannya.

Pak Pri sedang ngobrol dengan dosen lain saat gue datang. "Eh, Nduk, arep ngopo?" (eh nak, mau ngapain?) Pak Pri menyapa.

"Mau konsul bab 3 Pak, kalau Pak Pri lega. Revisiannya sudah selesai." jawab gue.

"Mana coba tak liat dulu." Pak Pri menyelesaikan obrolannya dengan dosen tadi kemudian mempersilakan gue duduk.

Setelah selesai membahas skripsi gue, seperti biasa, kami ngobrol ngalor-ngidul dengan santainya. Lalulalang mahasiswa maupun dosen lain lewat di belakang gue ketika kami berdua ngobrol. Sampai ada satu mahasiswi berjalan di belakang gue dengan muka lesu gundah gulana mendung hampir hujan. Pak Pri melihat mahasisi itu lewat.

"Farih, itu teman kelasmu bukan?" tanya Pak Pri sesaat setelah mahasiswi tadi melewati kita berdua.

"Iya Pak, itu teman sekelas saya. Kenapa ya Pak?"

"Siapa namanya?" tanya Pak Pri lagi tanpa menjawab pertanyaan gue.

"Namanya Depe, Pak."

"Dari kemarin saya liat dia bolak-balik ke ruang jurusan nggak ketemu siapa-siapa, terus sering nunggu di depan sendirian sampai sore. Ini sekarang malah wajahnya nggak karuan gitu." Pak Pri melanjutkan, "dosen pembimbingnya siapa ya? Kamu tau nggak?"

"Dosen pembimbingnya Pak Adi*, Pak." jawab gue singkat. Pak Adi memang terkenal sebagai dosen sibuk dan sedikit killer. *nama samaran

"Oh, pantesan. Kasian saya liatnya. Nanti skripsinya nggak selesai-selesai." Gue mengangguk-angguk mendengarkan. "Kamu samperin dia ya Farih. Bilang sama dia kalau dia bisa konsultasi skripsi sama saya. Nanti saya bantu bimbing skripsinya biar cepet selesai. Walaupun saya bukan dosen pembimbingnya secara resmi, nggak papa kok nanti dia bisa nanya dan saya ajarin nyusun skripsinya."

Sedikit kaget gue dengan ide Pak Pri itu, tapi gue mengiyakan.

Keesokan harinya di kelas, gue menemui Depe dan mengatakan apa yang kemarin Pak Pri sampaikan. Sejak hari itu, gue nggak pernah lagi melihat wajah muram Depe. Dia rutin menemui Pak Pri untuk menyusun skripsinya hingga selesai dan wisuda.

Pak Pri memang sebaik itu kepada semua mahasiswanya. Mengenang ini, mata gue lembab.

Omongan Pak Pri Di Belakang

Mungkin beberapa orang nggak percaya kalau gue memang jarang membuat janji terlebih dulu sebelum konsultasi skripsi dengan Pak Pri. Seringnya, dosen pembimbing skripsi identik dengan imej sibuk, galak, dan mempersulit mahasiswa. Tapi semua itu nggak ada di diri Pak Pri, sama sekali. Beliau benar-benar baik hati dan selalu memudahkan urusan mahasiswanya. Di luar urusan skripsi, beliau juga menyediakan banyak waktu.

Nggak terhitung berapa kali gue menghabiskan waktu berjam-jam sekedar bertukar cerita dengan Pak Pri. Dari bahasan politik sampai hal-hal yang bersifat pribadi seperti masa lalu Pak Pri ketika bekerja sebagai loper koran di Jepang, cerita kuliah Pak Pri di Jepang dan New Zealand, cerita-cerita menarik tentang anak-anak Pak Pri, cerita kegiatan gue di luar kuliah, sampai cerita lucu kucing-kucing peliharaan Pak Pri di Solo. Itu semua membuat gue dekat dengan beliau dan selalu rindu ingin mendengar ceritanya lagi dan lagi.

Pak Pri mengirim gambar kucing-kucingnya
Satu siang, setelah kelas selesai, gue berniat menemui Pak Pri untuk sekedar ngobrol. Santai banget kan? Dosen mana lagi yang bisa diajak ngobrol se-nyaman beliau?

Seperti biasa, gue melewati lobi jurusan. Saat itu lobi jurusan nggak terlalu ramai. Hanya ada satu dua mahasiswa yang duduk sibuk dengan buku-bukunya.

Gue memasuki ruang jurusan. Sama seperti lobi, ruangan luas yang berisi bilik-bilik itu nggak terlalu ramai. Gue berjalan menuju meja Pak Pri. Saat hampir sampai ruang Pak Pri, gue berhenti. Jarak gue dan ruang Pak Pri sekitar 3 bilik. Dari situ gue bisa melihat Pak Pri sedang berbicara dengan seorang dosen perempuan berjilbab. Dari jarak ini, gue mampu mendengar apa yang mereka bicarakan.

Iya, gue nguping.

Gue kaget ketika mendengar nama 'Farih' disebut dalam percakapan antara Pak Pri dan dosen perempuan itu. Karena semakin penasaran, gue mempertajam indera pendengaran yang gue miliki agar percakapan dua dosen itu jelas.

"Iya Bu, mahasiswa kuwi pancen kreatif." kata Pak Pri dalam bahasa Jawa. (Iya Bu, mahasiswa itu memang kreatif). "Dia punya blog dan usaha dekor gitu. Kemarin jalan-jalan ke luar negeri sudah pakai uang sendiri."

"Oalah pantes skripsinya lama." jawab sang dosen perempuan.

Ternyata Pak Pri dan sang dosen perempuan sedang membicarakan gue.

"Dia juga kerja di lembaga survey kalau weekend. Wes jan (udah pokoknya), Farih itu aktif terus. Saya juga kadang heran gimana dia bagi waktunya. Tapi saya seneng mahasiswa aktif gitu." timpal Pak Pri. "Saya salut sama dia."

Gue terenyuh. Dalam posisi masih nguping secara khidmat, gue pengen berterimakasih langsung ke Pak Pri. Bagaimana dia memuji gue di depan dosen lain, padahal di depan gue jarang banget?

Sebelumnya, kadang gue pikir penilaian Pak Pri jelek karena gue termasuk mahasiswa yang malas dan lambat dalam mengerjakan skripsi. Soal kuliah pun, gue bukan mahasiswa yang cemerlang dibanding mahasiswa lain. Pak Pri bisa menjelek-jelekan gue di depan dosen itu kalau dia mau. Tapi ternyata enggak. Pak Pri mengerti kesibukan gue di luar kuliah karena gue sering cerita hal itu kepada beliau. Gue nggak nyangka beliau melihat itu sebagai hal positif dan menceritakannya kepada dosen lain.

Betapa baiknya bapak dosen satu itu.

Nggak lama, percakapan Pak Pri dan sang dosen perempuan selesai. Dosen perempuan tersebut kembali ke ruangannya. Pak Pri masih belum melihat keberadaan gue saat itu.

Setelah menyembunyikan rasa bahagia dari raut wajah, gue melangkahkan kaki mendekati meja Pak Pri. Dan seperti biasa, Pak Pri menyapa kedatangan gue dengan ramah, "Eh, kamu nduk. Sini duduk."

Hari itu, gue dan Pak Pri membicarakan banyak hal sampai sore. Hangat, seperti biasanya Pak Pri memberi kesan kepada mahasiswa lainnya.

---

Jumat pagi, 13 November 2020, gue dikagetkan dengan berita duka yang sama sekali nggak gue bayangkan sebelumnya. Dengan mata yang masih setengah merem, gue membaca puluhan chat masuk melalui whatsapp. Satu dua pesan masuk gue baca, gue masih nggak percaya. Gue telpon salah satu pemberi informasi di whatsapp tersebut, Depe. Dan benar, berita itu terkonfirmasi. Pak Pri meninggal dunia Jumat dini hari karena sakit.

Gue masih nggak percaya.

Gue telpon teman-teman gue yang lain, satu per satu. Semuanya mengkonfirmasi berita duka itu; Pak Pri sudah pulang.

Mendadak, cerita-cerita Pak Pri berhamburan di kepala gue, memenuhi ingatan dan tanpa bisa dibendung lagi, air mata gue berjatuhan.

Rencana surprise ulang tahun Pak Pri yang selalu tertunda tiba-tiba menguap muncul dengan jelas di ingatan. Permintaan Pak Pri untuk membuat kalender foto mahasiswa bimbingan skripsi beliau yang bahkan kami lupakan.

Dosen paling baik itu telah pulang.

Dosen yang selalu menanyakan kabar mahasiswanya, dosen yang selalu support mahasiswanya, dosen yang mengerti cara membagikan ilmunya dengan baik, dosen yang terbuka dengan segala diskusi, dosen yang selalu ada untuk mahasiswanya, dosen yang paling ramah, dosen yang selalu memudahkan urusan mahasiswanya, dosen yang nggak pernah marah, dosen yang selalu kirim guyonan ala bapak-bapak di whatsapp, dosen yang nggak pernah absen kirim informasi lowongan kerja, dosen yang selalu bangga menceritakan cerita SMA-nya bersama Jokowi, dosen yang selalu baik dengan siapa pun, dia telah pulang.

Kini grup whatsapp "Pak Pri & Anak-anak" yang gue buat 2 tahun lalu sepi. Nggak ada lagi chat beliau. Gue menyesal, jarang merespon guyonan atau chat perhatian beliau di grup itu.

Gue kehilangan sosok bapak setelah ayah kandung gue, gue kehilangan pembaca setia blog gue, gue kehilangan satu-satunya orang yang selalu berkomentar di fan-page facebook gue.

Tanpa beliau, mungkin gue nggak bisa lulus tepat waktu.

Tanpa beliau, mungkin gue nggak bisa skripsian sambil nge-gojek tiap pagi dan sore.

Tanpa beliau, mungkin kuliah gue nggak seasik itu.

Dia-lah Pak Pri, dosen yang bajunya selalu dipenuhi bulu-bulu kucing, Priyatno Harsasto, dosen terbaik sedunia.

1 komentar:

  1. Alfatihah buat Pak Pri. :')

    Beliau bahkan membaca bahasa tubuh temanmu yang tampak suram itu, rela membimbing skripsinya sekalipun itu bukan mahasiswi bimbingannya. Cukup langka sih dosen semacam itu.

    Gue kayaknya enggak punya dosen kesayangan saat kuliah. Masa kuliah gue juga amburadul lagian. Haha. Tapi enggak tau kenapa jadi senang sekali bisa baca kisah dosen terbaik versi lu, Rih. Salut banget pokoknya sama manusia sejenis beliau.

    BalasHapus

Teman