17 Juli 2020

9

Sunset dan Gorengan

Hari itu Bapak pulang dari pasar lebih awal dari biasanya. Azan ashar selesai, Bapak sudah di rumah.

"Bapak mau ajak kamu lihat matahari terbenam di atas bukit." Ucap Bapak ketika aku menanyakan soal kepulangannya ini. "Ayo! Mumpung lagi cantik. Mumpung ada waktu." Begitu bersemangatnya Bapak, hingga ia lupa berganti pakaian.

Melihat matahari terbenam di atas bukit di pinggir pantai adalah hal paling menyenangkan dan terakhir aku melakukannya Agustus lalu.

Aku bersiap. Topi rimba motif tentara ku pakai dan tentu talinya ku kencangkan. Bapak sudah di depan rumah, duduk tersenyum di atas sepeda tuanya, siap mengayuh. Aku pun buru-buru duduk di belakang Bapak. "Let's go Pak!"

"Kenapa pakai topi itu? Kan banyak topi yang lain?" Bapak bertanya di perjalanan.

"Topi ini banyak kenangan bahagianya Pak. Aku suka."

Sepeda kami berdenyit melewati jalan aspal murahan dan berbatu. Sawah dan kebun tebu bergantian menghibur kami selama perjalanan, sedikit meringankan perih di pantat gara-gara jalanan kurang ajar.

Setelah melewati belokan ke kanan terakhir, bukit yang kami tuju terlihat. Aku gagal menyembunyikan senyum bahagia yang terlalu lebar ini.

Jalanan mulai menanjak. Artinya, tempat cantik itu kian dekat. Bapak tetap mengayuh, walaupun lebih pelan dari sebelumnya. Pelan-pelan, terlihat beberapa orang berjalan menuju bukit yang sedang aku dan Bapak tuju.

Bapak memarkir sepedanya di samping warung yang hanya satu-satunya di bukit itu. Warung itu menjual kopi dan segala rupa gorengan hangat. Pemiliknya juga menyukai senja, seperti kami. Mungkin itu alasannya berjualan disini.

"Kamu kesana dulu ya. Bapak mau beli kopi sambil nunggu gorengan." Bapak menunjuk sudut di atas bukit yang menurutnya adalah lokasi paling pas untuk memandangi matahari terbenam.

Dengan perasaan bahagia luar biasa, aku duduk di tempat yang Bapak tunjuk tadi, sebuah batu yang seperti sudah ditata untuk diduduki manusia. Di sekitarku, banyak orang yang menunggu si cantik senja menampakkan dirinya. Mereka ada yang sendirian, berdua bersama kopi, dan berkelompok duduk mengelilingi sepiring gorengan.

sumber: jogjakartour.com/
Aku duduk termenung sendirian di antara riuhnya orang-orang yang bercengkrama dengan orang-orang terdekatnya. Senja sedikit mengintip, cahayanya terlihat tak sabar ingin keluar.

"Nih, cireng buat temen ngelamun, biar makin asik ngelamunnya." Bapak tiba-tiba muncul di sampingku, dengan membawa sepiring penuh gorengan berbagai rupa di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya terlihat sibuk dengan dua cangkir kecil kopi hitam yang terlihat sedikit tumpah.

"Nggak sabar Pak, kayaknya senja kali ini bakal cantik banget." kataku setelah meletakkan dua cangkir kopi di atas batu yang terlihat seperti meja di depan kami.

Bapak duduk di batu yang kami jadikan kursi di sampingku lalu menyeruput kopi di cangkirnya sedikit. "Kenapa kamu suka sekali dengan senja?".

"Ya, karena cantik, Pak." jawabku. "Indah sekali dipandang mata telanjang. Lagian, memang ada orang yang nggak suka senja, ya?"

"Bapak suka. Tapi nggak segila kamu."

"Kenapa?"

"Senja itu jahat Dik." Bapak mencomot singkong goreng dari piring. "Dia cantik tapi egois. Suka-suka sendiri mau datang kapan. Kadang datang tapi dengan mood jelek. Kadang malah nggak datang sama sekali, padahal sudah ditunggu lama."

Dahiku mengernyit.

"Jangan terlalu gila menyukai sesuatu atau kamu akan sering kecewa." Bapak melanjutkan. "Apa yang kita kejar, belum tentu menghargai kita."

"Iya Pak."

Kemudian suasana bapak-anak ini menjadi khidmat. Hanya terdengar mulut yang sama-sama mengunyah gorengan pilihan yang diselingi bunyi "sluurp" dari bibir cangkir kopi.

Sore itu senja sedang baik padaku dan Bapak. Dia memperlihatkan cantiknya. Setidaknya menghargai pantat kami yang ternaniaya jalanan kurang ajar saat menuju ke bukit ini.

Terimakasih ya.

---

Anjayy up juga nih tulisan setelah hampir setahun mendekam di 'draf'. Sore ini akhirnya selesai dan posted.

Btw, sunset-nya Jogja kenapa sering memikat ya?

9 komentar:

  1. Enggak cuma Jogja kok. Di Makassar juga begitu, di Pangandaran juga begitu. Di Jakarta juga kadang bagus. Malah menurut gue yang datangnya sesekali itu malah lebih prestisius dan layak banget buat ditunggu. Ini gue ngomong apa sih. Kayaknya gue butuh gorengan deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. coba cerita sini dulu deh, man

      Hapus
    2. Itu ilustrasinya aja sih gambar pantai di Jogja, hehe.

      Bener juga sih Fir. Gih, beli gorengan dulu. Tahu isi kayaknya enak.

      Hapus
    3. Ahmad Fauzi: Tolong dihibur Pak.

      Hapus
    4. Gue kemarin beli gorengan 10 ribu. Pas mau makan, ponakan gue tiga orang datang. Akhirnya gue gak kebagian dong. Nah, itu cerita gue, Ji, Rih.

      Hapus
  2. gue masih suka iri dengan orang-orang yang bisa melihat pemandangan indah seperti ini yang bisa didatangi hanya dengan naik sepeda. ditambah sambil makan gorengan, nikmat aja gitu.

    ini lah alasan gue suka pulang kampung, karena bisa melihat pemandangan indah ini. karena di kota, hanya disajikan gedung-gedung pencakar langit, serta ibu-ibu pengendara motor sang penguasa jalan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena di kota, kita dituntut cuma buat kerja dan kerja. Piknik? Mana bisa~

      Hapus
  3. Senja terbaik yang pernah gue potret maupun rekam kira-kira 4-5 tahun lalu. Setelahnya, enggak tahu kenapa senja berubah jadi omong kosong. Entah muak mendengarnya dalam lagu atau membacanya dalam puisi.

    Pengin sih melihat lagi kecantikannya yang cuma sebentar itu. Barangkali cara pandang gue kembali bergeser. Masalahnya, gue sendiri juga udah lupa kapan terakhir kali melihat senja pada tahun ini, tapi kalau matahari terbit cukup sering. Itu juga lumayan indahnya, cuma ya akhir-akhir ini malah enggak muncul karena mulai musim hujan.

    BalasHapus

Teman