28 Juli 2017

10

Pada Sebuah Hati: Sarah (Part 2)

"Ini dicatetan kamu pinjam empat buku. Kok yang dibalikin cuma tiga?" Wajah Bu Eni nggak enak dipandang. Ya, karena memang bukan pemandangan. "Yang satu kemana?!"


"Eh...itu...iya Bu kurang satu." Astaga, kemana buku satu lagi ya? Duh, gue lupa. "Yang satu belum selesai saya baca Bu." Terpaksa gue bohong.

"Sebulan lebih belum selesai? Itu niat baca apa enggak to mbak mbak! Kayak anak kecil baca bukunya lama." Bu Eni lancar memaki. Gue cuma bisa nyengir. Dalam hati getir. Malu. Gue yakin sekarang semua mata pengunjung perpustakaan tertuju ke arah gue.

"Satu bukunya lagi besok Senin ya Bu, saya kembaliin kesini lagi." Gue kemudian bergegas keluar perpustakaan. Gue bener-bener malu.

Ketika berada di ambang pintu perpustakaan, gue teringat kembali dengan buku Feminist Thought yang pengen gue baca. Gue menoleh ke arah si laki-laki tadi dan ternyata dia sudah berada di depan meja Bu Eni dengan menyodorkan buku Feminist Thought.

"Tanggal kembalinya maksimal tanggal 10 Agustus ya." Bu Eni tersenyum dan laki-laki itu kemudian berjalan keluar perpustakaan melewati gue, sambil menenteng buku Feminist Thought.

Kurang ajar. Gue pengen baca buku itu woy!

Apa gue coba buat bilang langsung ke laki-laki itu kalau gue mau pinjem bukunya? Kalau nggak dipinjemin gimana? Malu double dong gue hari ini.

Ah bodo. Gue pinjem aja sekarang. Gue samperin laki-laki tadi yang sedang berjalan menjauhi perpustakaan.

"Mas mas!" Laki-laki itu berhenti. "Ehm, eh. Itu bukunya boleh saya pinjem nggak?"

Laki-laki itu diam, memandang gue dengan tatapan heran, dan mengernyitkan dahi.

Gue yakin dalam hatinya, laki-laki ini pasti mikir gue cewek yang sok kenal sama orang, sok asik, dan ganggu harinya dia. Ya Tuhan, gue pengen ngilang.

"Buku ini?" Dia mengangkat buku Feminist Thought.

"Iya, itu." Gue menunjuk buku yang si laki-laki itu pegang dan mencoba memberinya sebuah senyum. Kali aja bisa meluruhkan hatinya biar mau meminjami gue buku tersebut.

Laki-laki tersebut nyengir. "Kamu mau pinjem buku ini? Mau berapa bulan bacanya?"

Ahh! Gue merasa terhina. Pasti ini gara-gara ucapan Bu Eni tadi soal buku-buku yang sebulan lebih gue pinjem. Gue cuma bisa nyengir malu di depan laki-laki yang "kampret" ini.

Suasana hening dalam beberapa detik.

"Nih, kamu boleh pinjem buku ini." Nggak disangka, laki-laki itu menyodorkan bukunya. "Selesaiin dalam waktu tiga hari ya."

Tiga hari nyelesaiin buku Feminist Thought? Hey! Ini bukan novel remaja yang gaya bahasanya sederhana ya!

"Gimana?" Laki-laki ini sepertinya menunggu jawaban.



Part 1 bisa dibaca di sini.
Pada Sebuah Hati: Johan, di https://wahyuimamrifai.blogspot.co.id
(BERSAMBUNG KE PART 3)

16 Juli 2017

8

Pada Sebuah Hati: Sarah (Part 1)

Kalau bukan gara-gara denda di perpustakaan yang semakin membengkak nominalnya, gue ogah Jumat sepagi ini menginjakan kaki di perpustakaan. Gimana enggak? Di semester 7 ini, kuliah gue cuma sampai hari Kamis. Jumat, Sabtu, Minggu, adalah jadwalnya bermalas-malasan di kos untuk menonton drama Korea atau jika Tuhan menghendaki, gue mencicil skripsi.


"Bagaimana bisa denda buku sebanyak ini? Ya ampun kamu ini!" Petugas perpustakaan ngomel ketika gue menyodorkan tiga buku ilmu sosial di mejanya. "Duduk dulu deh kamu. Ini saya data dulu bukunya."

Gue cuma bisa cengengesan kemudian menghampiri rak-rak buku. Sejujurnya gue lagi nggak berminat baca buku sekarang. Tapi seminggu terakhir ini, gue penasaran banget sama bukunya Rosemarie Tong, Feminist Thought. Buku itu sering diobrolin di kelas. Nggak ada salahnya sekarang gue coba mencari buku tersebut.

Gue menghampiri rak buku tentang feminisme. 5 menit untuk menelusuri rak buku, gue nggak nemuin buku Feminist Thought tersebut. Gue malah nemuin dua buku yang berjudul sama, yaitu Feminist Politics and Human Nature karangan Alison Jaggar.

"Ok deh, baca ini dulu. Kali aja isinya mirip sama bukunya Rosemarie Tong."

Gue mencari spot baca yang jauh dari mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir yang sedang menikmati wifi gratis perpustakaan untuk mengerjakan skripsinya. Gue nggak nyaman dengan suara jari-jemari yang beradu dengan keyboard laptop.


Akhirnya gue memilih duduk di kursi pojok yang cuma ada satu laki-laki yang sedang baca buku disana.

Gue duduk dan mulai membuka halaman pertama buku Feminist Politics and Human Nature.

Lumayan menarik juga bukunya.

Sesekali gue menjatuhkan pandangan ke laki-laki berkemeja biru tua yang duduk di depan gue ini. Dia terlihat sangat serius membaca buku yang diletakannya di meja sampai-sampai lupa bahwa kaca mata yang menempel di hidungnya sedikit melorot.

Gue rasa buku yang dia baca bagus.

Gue melanjutkan membaca buku yang sedang gue pegang. Sampai terdengar suara derit kursi dari depan gue.

Laki-laki itu membenarkan posisi duduknya dan merubah posisi buku yang sedang ia baca menjadi vertikal di atas meja. Seketika gue bisa melihat buku yang sedang ia baca. Tertulis disana "Feminist Thought" dan nama kecil di bawahnya "Rosemarie Tong".

Ah, itu buku yang daritadi gue cari! Ternyata daritadi ada di depan gue.

Laki-laki itu masih khusyu dalam membaca bukunya Rosemarie. Sedangkan gue, mulai nggak fokus di bukunya Alison Jaggar. Beberapa kali gue mencuri pandang ke buku yang dia pegang, berharap dia segera pulang dan meninggalkan buku itu di rak feminisme.

Laki-laki itu masih tenang membaca.

Gue heran. Ini nggak wajar. Nggak biasanya laki-laki kepo dengan buku-buku feminisme macam Feminist Thought itu. Setau gue, feminisme itu favoritnya mahasiswi, bukan mahasiswa. Kenapa dia doyan banget bacanya anteng gitu?

Gue penasaran.

Ah, lama banget. Lima belas menit berselang, laki-laki itu masih tenggelam di pikiran-pikiran Rosemarie. Gue semakin kepo dengan buku itu. Kalau dia aja betah dengan buku itu, berarti isinya bagus banget dong?

Makin penasaran.

Arghh. Cepetan dong balikin bukunya ke rak!

Laki-laki itu melihat ke arah gue. Shit. Gue langsung menundukan pandangan. Nggak rela gue kalau dia memergoki gue yang daritadi merhatiin dia. Ah enggak. Maksud gue, merhatiin buku yang sedang dia baca.

Laki-laki itu melanjutkan bacaannya lagi.

Aman. Gue memperhatikannya lagi.

Sebagus apa sih buku itu? Sampai-sampai laki-laki juga betah bacanya. Temen-temen di kelas gue juga bilang sih buku itu bagus.

Oke. Gue semakin penasaran dengan isi buku itu.

Apa sebaiknya gue ngomong baik-baik ke dia kalau gue pengen pinjem buku itu? Tapi gue sama sekali nggak kenal dia. Bahkan selama tiga tahun kuliah disini, belum sekali pun gue melihat dia. Mukanya asing buat gue.

"Sarah Larasati!" Bu Eni, petugas perpustakaan memanggil nama gue dengan lantang.

"Eh, iya Bu..." Gue pun menghampiri mejanya.



Pada Sebuah Hati: Johan, di https://wahyuimamrifai.blogspot.co.id
(BERSAMBUNG KE PART 2)

Teman