13 September 2015

8

Their Feelings, Our September Sadness #PrayForMakkah

Udah nonton berita hari ini belum? Berita kecelakaan yang terjadi di Mekkah dan menewaskan ratusan jamaah haji.

Berita ini langsung jadi headline news dimana-mana. Sebuah alat berat yang digunakan untuk pembangunan Masjidil Haram jatuh dan menimpa para jamaah haji. Crane raksasa itu ambruk gara-gara badai dahsyat di wilayah Mekkah dan menimpa ratusan jamaah haji yang sedang beribadah. Sebagian luka parah dan sebagian meninggal dunia. Jamaah asal Indonesia termasuk jadi korban.

Selang beberapa menit berita tersebut tersebar, banyak orang upload foto tentang kejadian itu dan hastag #prayforMecca ramai banget. Salah satunya ada foto kayak gini :
Mereka meninggal di depan Ka'bah.
Mereka kembali ke Allah SWT di hari Jumat.
Mereka meninggal saat sedang menyembah Tuhannya.
Jiwanya diberkati.
Semoga Allah SWT mengaruniakan mereka Surga yang paling tinggi. Aamiin.

Tulisan itu bikin gue nangis. Air mata netes gitu aja. Mungkin kedengarannya alay, tapi ini beneran.

Gue bisa ngebayangin perasaan keluarga korban, apalagi anak-anaknya. Korban rata-rata orang tua, pasti perasaan anak-anaknya ancur banget. Dapet kabar orang tua mereka meninggal saat sedang mendekatkan diri ke Tuhan dan jauh dari mereka.

Pikiran gue langsung terlempar ke 10 tahun yang lalu. Saat masih kelas 5 SD, kedua orang tua gue berangkat naik haji. Masih inget jelas waktu itu dini hari, sekitar jam 1, gue sama adek gue yang masih berumur 7 tahun dibangunin dari tidur. Gue yang masih kecil nurut doang dibawa tante ke depan rumah dengan mata masih ngantuk berat. Sampe depan rumah, para tetangga dan keluarga udah kumpul. Kedua orang tua gue ada disana juga, berdiri di depan orang-orang yang ada dengan memakai pakaian muslim rapi. Suasana haru. Semuanya sedih, nangis. Dinginnya pagi dan isak tangis orang-orang bikin gue segera melek dan bertanya-tanya, "ini kenapa kok pada nangis?"

Orang tua gue mengucapkan syukur, meminta maaf, dan meminta doa ke semua orang dengan sepenuh hati. Keliatan dari air matanya yang mengalir deras. Air mata bahagia karena penantian pergi ke Tanah Suci selama bertahun-tahun datang, karena kesempatan mendatangi Rumah Allah telah tiba, dan sedih harus meninggalkan duniawinya, termasuk kami, anak-anaknya.

Kemudian kedua orang tua deketin gue dan adek. Kita berdua dipeluk bergantian. Orang tua nangis sambil meluk kita. Baru kali itu gue liat bapak ibu nangis dan itu di pelukan gue sendiri.
"Doain Bapak ya nduk disana. Baik-baik ya ditinggal bapak disini." kira-kira begitu kata Bapak. Rasanya kayak ditusuk. Ada yang jatuh dari dalam hati. Kayak ada yang patah. Mencelos gitu aja. Gue cuma ngangguk. Padahal dalam hati berantakan.

Enggak bisa gue bantah lagi, gue sayang sama bapak ibu. Nggak mau jauh-jauh dari mereka. Yang biasaya gue tidur sama bapak, yang biasanya tiap malem makan masakan ibu, hal itu nggak bakal gue rasain lagi sebulan kedepan. Gue nggak pengen ditinggal mereka. Gue pengen ikut mereka kalo bisa.

Akhirnya air mata pun jatuh dari pelupuk. Nggak bisa lagi ditahan. Gue peluk kedua tubuh itu. Erat sambil terisak. Nggak mau gue lepas.

Ada rasa khawatir yang muncul seketika. Khawatir terjadi apa-apa disana. Gimana kalo bapak ibu sakit di Mekkah sana? Gimana kalo bapak ibu kecapekkan pas menjalankan ibadah haji? Gimana kalo... Ah sudahlah. Mau bagaimana pun, mereka tetap harus terbang ke Tanah Suci sebentar lagi.

Selama ditinggal naik haji, nggak pernah berhenti gue nanyain kabar orang tua. Gue selalu nyuruh tante dan nenek gue buat telpon orang tua gue disana, sekedar nanya kabar. Alhamdulillah, nggak ada hal buruk terjadi. Cuma bapak cerita kalo dia muntah berkali-kali di pesawat.
"Bapak sehat nduk. Cuma kemarin naik pesawat muntah-muntah. Lha wong liat pesawat aja udah mules."
"Bapak ndeso!" Gue ketawa. Bahagia rasanya.

Inget itu semua gue merinding ngebayangin perasaan anak-anak yang orang tuanya menjadi korban kecelakaan kemarin di Mekkah sana. Luka-luka, di rumah sakit tanpa keluarga, yang wafat, jasadnya sendirian.

Sudah berat hati ditinggal 1 bulan, ternyata harus selamanya. Tanpa pamit. Tanpa kita bisa liat kondisinya. Tanpa kita bisa cium keningnya untuk yang terakhir sebelum dikafani.

Berangkat dengan haru biru, bahagia karena bisa bertamu ke Baitullah, ternyata Allah pengen mereka menetap, tinggal disana, tinggal di sisiNya selamanya.

Mereka yang menjadi korban, dipanggil dengan cara yang hebat. Di Rumah Allah sendiri, saat sedang berzikir kepada Allah, dan di hari yang mulia. Semoga diberi ketabahan untuk anak-anak yang ditinggalkan. Khusnulkhotimah, jannah inshaallah.

8 komentar:

  1. Ini tragedi yang memilukan banget.. tapi di sisi lain mereka para korban sangat beruntung bisa meninggal di tempat suci itu..
    Semoga selalu ada hikmah yang bisa dipetik dari kejadian ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mereka beruntung banget. Cuma orang terpilih yang meninggal kayak gitu.
      Aamiin.

      Hapus
  2. Memang tatkala berjauhan kadang terbersit cemas dlm hati, insyaalloh smua dijaga...aminnn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Soalnya gak pernah jauh sih jadi cemas. Hehehe. Aamiin.

      Hapus
  3. PrayForMakkah :')

    Pas gue nonton TV semingguan yang lalu juga kaget banget. Mau beribadah malah keburu dipanggil. Insya Allah mereka--para korban--masuk surga.
    Dan semoga keluarga korban, bisa cepat ikhlas. :))
    Bapak lu nggak ndeso-ndeso amat, kok. Gue naek bus aja masih suka muntah. Dan belum pernah naek pesawat. Hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.. :))
      Hahaha sama deh. Guenya sendiri juga naik angkot atau bus masih pusing. Motor doang yang aman. Tipe-tipe kayak gini susah punya mobil.

      Hapus

Teman