17 September 2017

2

Pada Sebuah Hati: Sarah (Part 4)

Gue menghampiri laki-laki cupu peminjam buku Feminist Thought yang sedang membaca buku di sudut perpustakaan. Kita janjian pagi ini.

"Hai." Gue mencoba menyapanya dengan ramah. "Gue sebel hari ini. Kena marah Bu Eni dan dia malah nyuruh gue nyari orang yang bernama Johan buat membantu gue mengembalikan buku yang gue ilangin. Johan? Kenal aja enggak."

Suasana hening. Laki-laki itu nampak syok. Lebay. Aneh.


"Lo kenal orang yang namanya Johan?"

Laki-laki itu masih diam kemudian membuka mulutnya. "Ya. Aku pernah sekelas sama Johan. Kenapa? Lagi pula semester ini aku satu kelas sama dia."

"Lo serius?" Gue girang.

"Enggak sih. Bohong aja." Laki-laki itu mulai menyebalkan lagi. Gue muak. Gue mulai curiga kalau dia nggak waras. "Kamu masih ada hutang denganku kan? Ceritain isi buku Feminist Thought."

Mati. Kan gue nggak baca sampai habis. Baru setengah dari buku itu yang masuk ke otak gue. Oke. Cara terbaik untuk lari dari situasi adalah: ngeles. "Gue bakal ceritain isi bukunya bahkan sampai ke riwayat si penulisnya. Tapi nanti. Sekarang lo anter gue ke kelasnya Johan dulu!" Gue memaksa. "Please anterin gue ketemu Johan itu. Kata Bu Eni dia yang nemuin buku yang gue ilangin."

Laki-laki itu nampak syok dan mengernyitkan dahi. Bodo. Gue tarik tangannya. "Lo kuliah di ruang mana hari ini?"

"D15."

Gue memasuki ruang D15 dengan masih menyeret laki-laki menyebalkan ini. Sampai sekarang pun, gue nggak ada rasa tertarik untuk menanyakan namanya.

Ruang D15 hanya ada 2 laki-laki dan 3 perempuan yang duduk terpisah menjadi dua kelompok seperti di masjid. Laki-laki berdua duduk di pojok kanan dan 3 perempuan duduk ketawa-ketiwi di bagian tengah ruangan.

"Disini ada yang namanya Johan?" Gue menghampiri dua laki-laki itu. "Kata mas ini dia sekelas sama Johan disini."

Hening. Dua laki-laki di hadapan gue hening. Tiga perempuan di tengah hening. Meja-meja di ruangan hening. Kompak.

"Eh anu. Johan ya Mbak? Johannya lagi nggak di kampus." Akhirnya laki-laki kurus menjawab pertanyaan gue meskipun masih dengan muka bingung. Hening lagi. "Tapi saya punya nomor HP-nya Mbak kalau mau."

Gue menelpon nomor yang dikasih si laki-laki kurus. "Kok nggak aktif ya Mas nomernya?"

"Mungkin dia lagi ada kegiatan. Lagian ngapain sih ribet banget nyariin Johan?!" Laki-laki menyebalkan di samping gue tiba-tiba membuka mulut. Ngeselin.

Gue mengacuhkan si laki-laki ngeselin dan mengucap terimkasih kepada orang-orang di dalam ruangan. Kemudian kita berdua pergi meninggalkan ruang D15.

"Gue pulang aja deh. Lo kalau ketemu Johan bilang ya, ada yang nyariin. By the way, makasih."

"Iya sama-sama. Dicariin siapa?"

"Eh iya lupa. Kita belum kenalan ya? Gue sarah." Gue mengulurkan tangan.

"Aku Adi." Kita berjabat tangan sebentar. "Panggil mas lagi aja nggak papa."

"Rese banget sih lo baru kenal!"

"Resean mana sama yang baru kenal tapi udah narik-narik tangan seenak jidat?"

Bener-bener ngeselin. Tapi memang gue narik-narik tangan dia sih. "Oke, gue minta maaf."

"Kamu masih ada hutang denganku ya. Ceritain isi buku Feminist Thought. Yang bab 4 aja deh. halaman 312." Anjir. Dia masih aja ngotot.

"Duh!" Gue langsung kabur, berjalan cepat meninggalkan laki-laki ngeselin bernama Adi itu.

"Hei!" Adi meneriakiku.

"Gue mau nyelesaiin masalah sama Johan dulu baru setelah itu gue ceritain isi bukunya!" Gue melambaikan tangan.

Gue sudah sampai di area parkir. Sebelum masuk mobil, gue sempatin buat telfon Johan lagi. Siapa tahu diangkat.

"Tut...tutt...tuuuttt..." Nggak ada jawaban.

Gue kirim pesan aja kali ya. Biar kalau si Johan baca dan tahu kalau gue mau ketemu dia.

Selamat pagi mas, apakah ini nomornya mas Johan? Saya Sarah dari jurusan hukum. Kalau mas ada waktu bisakah kita bertemu sebentar? Saya ada perlu dengan anda. Terima kasih.

Semoga nanti malam Johan memberikan kabar baik soal buku yang gue ilangin.



Part 1 bisa dibaca di sini.
Part 2 bisa dibaca di sini.
Part 3 bisa dibaca di sini.
Pada Sebuah Hati: Johan, di https://wahyuimamrifai.blogspot.co.id
(BERSAMBUNG KE PART 5)

Teman