17 Agustus 2017

6

Pada Sebuah Hati: Sarah (Part 3)

Seumur-umur gue nggak pernah terlihat cemen di depan orang, apalagi laki-laki cupu model gini.

"Oke, gue setuju!" Gue mengiyakan tantangan si laki-laki nyebelin ini meskipun gue nggak yakin bakal selesai dalam 3 hari, sih. Ah bodo. Yang penting gue terlihat keren dulu. "3 hari doang?"

Laki-laki itu diam sesaat. "Iya, 3 hari." Diam lagi. Gue rasa orang ini lagi mikir sesuatu deh. Kemudian melanjutkan. "Hari Senin balikin ke aku ya di perpustakaan ini lagi jam 7 pagi."

What the hell. Kurang pagi.

"Nggak sekalian waktu solat tahajud aja?"


Malam sebelum hari libur selalu menyenangkan. Malam panjang yang bisa dinikmati dengan begadang tanpa diteror pikiran "besok bangun pagi...besok bangun pagi". Seperti Jumat malam kali ini.

Malam ini gue bakal baca buku Feminist Thought dengan santai ditemani wafer tango cokelat yang kemarin gue beli. Sabtu-Minggu libur. Duh, menyenangkan.

Gue adalah tipe orang yang nggak bisa diburu-buru ketika baca buku. Bahkan, kalau gue kurang mengerti isinya, gue ulangi lagi halaman tersebut. Gue nggak peduli buku ini bakal selesai Senin atau enggak. Gue mau santai bacanya.

***

"Rian! Kamu lihat buku kakak nggak?"

"Itu kan di meja kakak banyak buku." Rian, adek gue yang masih berumur 8 tahun menjawab dengan nggak niat. Dia lagi mainan hotwheel kesayangannya di depan tv ketika gue panik mencari buku perpustakaan yang entah dimana. Malam Minggu yang nggak asik.

"Buku yang ada fotonya Bapak Presiden itu lho Yan. Yang warnanya merah." Gue masih sibuk mencari. "Kamu beneran nggak lihat?"

"Rian nggak tau Kak."

Anjir, dimana ya?

***

Minggu malam dan buku Feminist Thought belum selesai gue baca. Masih kurang seperempat dari seluruh halaman yang belum gue baca.

Jam menunjukan pukul 11 malam. Gue nggak kuat untuk melek lagi. Gue tidur.

***

Hari Senin ini gue cuma ada kelas jam 12 siang dan sepagi ini, jam 6.30 gue udah rapi sampai di kampus Fisip. Mahasiswa teladan. Kalau bukan gara-gara taruhan harga diri dengan si laki-laki cupu itu, gue masih tidur cantik di kamar.

Perpustakaan masih sepi. Gue berdiri di ambang pintu masuk mencari keberadaan si cowok cupu bin ngeselin. "Hei kamu. Ngapain berdiri disitu? Nutupin rezeki orang nanti." Bu Eni muncul dari balik meja. Gue kaget, kemudian menyiram wajah beliau dengan air keras. Eh, enggak sih. Boong. Kaget doang.

"Eh ini Bu..."

"Itu buku perpustakaan? Mau dikembalikan?" Bu Eni menunjuk buku Feminist Thought yang gue dekap. "Sini bukunya, Ibu data."

"Eh Bu, saya mau mengembalikan buku ini Bu." Kampret. Kenapa gue yang balikin jadinya? Mana nih si cowok cupu yang ngeselin itu?

"Siapa yang meminjam kenapa kamu yang mengembalikan?" Bu Eni mulai memasang wajah nggak enaknya.

"Ah anu, saya dititipi buku ini sama laki-laki yang pakai kacamata, tinggi itu Bu. Dia biasanya disini kok Bu, saya juga janjian sama dia."

"Oh dia.. Silakan tanda tangan disini." Bu Eni sepertinya hafal betul dengan si laki-laki ngeselin itu. "Oh iya, kamu yang kemarin Jumat katanya mau ngembaliin buku itu kan? Yang sebulan lebih kamu baca tapi nggak selesai. Sekarang mana bukunya?"

Mati gue.
Ngeles apalagi nih?
Duh.

"Itu Bu...sepertinya hilang." Bu Eni melotot.

Mati dua kali gue.

Pasrah.



Part 1 bisa dibaca di sini.
Part 2 bisa dibaca di sini.
Pada Sebuah Hati: Johan, di https://wahyuimamrifai.blogspot.co.id
(BERSAMBUNG KE PART 4)

6 komentar:

  1. Rih, jangan jangan ini pengalaman pribadi ya? Udah ngaku aja aku bakal diem

    BalasHapus
  2. lah bukunya ilang.. ganti apa ada yg minjem gak bilang2 itu 😂

    BalasHapus
  3. Gue malah nggak bisa tidur kalau udah baca buku. Seringnya jadi begadang sampai pagi, dengan syarat bukunya asyik dan menyenangkan. Kalau karya klasik, baru selembar mah udah ngantuk bener. :(

    BalasHapus

Teman